Di Indonesia terakhir aku bekerja dengan menggunakan ijazah
terakhirku di bidang komunikasi. Ijazah yang sebenarnya aku dapat dengan segala
proses bersekolah dari SD hingga kuliah. Tapi karena kepindahanku ke Australia,
ceritanya menjadi berbeda. Di Australia, ijazah S1 ku dikenali (recognise) oleh departemen pendidikan.
Tapi pada kenyataannya tidak bisa digunakan untuk mencari pekerjaan. Pertama,
karena ijazah ku adalah S1 Komunikasi.
Komunikasi memerlukan keahlian berbahasa
yang sangat baik, boleh dibilang harus lebih baik dari kebanyakan orang. Nah,
di Australia ini berarti bahasa Inggris, payahnya bahasa ini adalah bahasa
keduaku. Faktor lainnya, adalah karena aku tinggal di kota yang relatif kecil
(tidak sebesar Sydney atau Melbourne dan ibu kota negara bagian lainnya). Kota
tempatku tinggal Cairns, adalah kota wisata yang “nyantai” … mungkin kalo
dibandingkan kurang lebih seperti Jogja dibanding Jakarta.
Cairns pernah memiliki angka pengangguran 7,9 % saat angka
penggangguran nasional 5,5 %. Kota dengan angka pengangguran rendah adalah
kota-kota pertambangan misalnya. Dimana hampir semua warganya bekerja di bidang
yang berkait dengan pertambangan.
Nyaris semua pekerjaan di negeri ini membutuhkan sertifikat
(qualification). Bahkan lolipop lady
(petugas yg menghantar anak-anak sekolah menyeberang sambil memegang
rambu-rambu seperti lolipop) pun harus punya sertifikat. Ini dikarenakan isu
keamanan. Untuk punya sertifikat ada yang hanya memerlukan kursus singkat 1
hari, 2 hari, tapi ada yang 1,5 tahun, 2 tahun.
Kebijakan ini tentunya bikin susah sebagian orang termasuk
pendatang (migrant) seperti aku. Sempat ngomel-ngomel tentang hal ini. Sebagian besar kursus hanya menerima warga
negara Australia atau minimal permanent
resident. Jika pun menerima international
student, biaya yang dikenakan sangatlah tinggi lebih dari 10 kali lipat. Tapi
di lain pihak, kebijakan ini dibuat antara lain untuk membiasakan alias “mendidik”
pekerja terlebih lagi yang merupakan pendatang dari negeri lain, untuk memahami
sifat pekerjaan, waspada akan keamanan dan kesehatan kerja, etika, dan tentunya
cara bekerja dalam bidang tersebut. Selain itu, kursus-kursus ini membuat
lapangan kerja bagi pelatih, guru dan tentunya pemilik sekolah (lembaga kursus).
Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu misalnya di sekolah,
penitipan anak, proyek bangunan d.s.b. para pekerja harus memiliki first aid certificate (sertifikat P3K)
termasuk CPR (pernapasan buatan). Sertifikat ini harus diperbarui secara
regular artinya ya harus kursus lagi.
Referensi dan pengalaman adalah hal utama yang
dipertimbangkan dalam rekrutmen. Kedua hal inilah yang kadang memungkinkan
orang Australia mendapat pekerjaan tanpa sertifikat (qualification). Tapi untuk
migrant seperti saya, sudah terbukti
bahwa harus punya sertifikat untuk mendapat kerja. Taruhlah jika kita orang
Australia dan perlu pekerja, lantas datang seorang asia yang memiliki aksen
(berlogat bukan Bahasa Inggris Australia) spontan kita akan lebih berhati-hati
menerima dia bekerja dibanding bila seorang kulit putih yang fasih berbahasa
dengan segenap tata bicara dan singkatan-singkatan kata, datang melamar
pekerjaan.
Pekerjaan yang tidak memerlukan sertifikat khusus misalnya asisten tukang kebun ( gardener assistant), supir, cleaning service. Pelayan kadang tidak memerlukan sertifikat namun jika bekerja sebagai pelayan di restoran dengan lisensi menjual alkohol, maka diperlukan RSA (Responsible of Serving Alcohol). Pekerjaan di bidang pertukangan, tukang kayu, tukang pasang tegel, tukang cat, tukang listrik, semua baru bisa bekerja setelah paling tidak menjalani magang dan dengan demikian punya sertifikat minimal certificate
2.
Suatu hal yang aku perhatikan mengenai tipe pekerjaan di Australia adalah bahwa pekerjaan tertentu selalu menyerap tenaga kerja. Beberapa diantaranya adalah pekerjaan yang berkait pertukangan, penitipan anak / pendidikan anak usia dini, dan juru masak. Pekerjaan tersebut hampir selalu tersedia. Sehingga orang-orang termotivasi untuk mendapat keahlian di bidang-bidang itu. Walaupun tipe pekerjaannya menguras tenaga. Tapi ketika dihadapkan pada pilihan: ingin cepat mendapat kerja dan selalu mendapat kerja atau bertahan dengan idealisme dan membutuhkan waktu lama untuk mendapat pekerjaan maka sebagian besar orang memilih yang pertama. Mungkin begitulah cara negara ini mengurangi angka pengangguran.